Batik Tulis Warga Binaan Lapas Kelas IIA Banyuwangi Tembus Pasar International

BANYUWANGIHITS.ID – Di balik tembok tinggi dan pintu besi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Banyuwangi, tersimpan kisah berbeda yang jarang tersorot. Bukan soal hukuman, melainkan tentang bagaimana warga binaan menemukan ruang ekspresi dan harapan lewat helaian kain batik.
Program membatik yang menjadi bagian dari Pembinaan Kemandirian ini sudah berjalan sejak 2019. Dengan berbekal pensil, canting, kain, dan malam cair, para warga binaan menuangkan kreativitasnya menjadi motif batik khas “jeruji”.
Kasubsi Tenaga Kerja Lapas Kelas IIA Banyuwangi, Mustaiin, mengungkapkan bahwa kegiatan ini tidak melalui seleksi ketat. Setiap warga binaan yang memenuhi syarat dan memiliki minat boleh bergabung.
“Ada warga binaan yang memang mempunyai skill gambar yang bagus dan memumpuni. Biasanya yang mahir mentato dialah yang mencanting,” jelas Mustaiin, Kamis (2/10/2025).
Saat ini, tercatat 14 warga binaan menjadi anggota tetap kegiatan membatik. Hasil karya mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Setidaknya tujuh desain batik telah terdaftar sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), seperti Blue Fire Kayu Mati Jeruji, Gandrung Jeruji, hingga Jenon Seblang Jeruji. Bahkan dua motif baru tengah dalam proses pendaftaran.
Motif khas “jeruji” ini pun telah mengantarkan nama Lapas Banyuwangi ke berbagai ajang bergengsi, mulai dari Banyuwangi Batik Festival 2024, Indonesian Prison Products and Arts Festival (IPPA Fest) 2025, hingga Festival Banjoewangi Tempo Doeloe 2025. Dari sana, batik warga binaan mulai dikenal masyarakat dan mendapat pesanan, termasuk tender seragam dari Paguyuban Ibu-Ibu Pemasyarakatan (PIPPAS) Jawa Timur sebanyak 500 kain.
Selain pameran eksternal, Lapas juga rutin mengadakan lomba desain grafis, peluncuran motif terbaru lewat fashion show, hingga pameran karya di galeri internal lapas. Namun di balik capaian itu, tantangan tetap ada.
“Tantangan itu klasikal, seperti jika ada napi yang sudah ahli keluar, maka harus kembali dari awal mengajari yang baru. Tapi yang paling krusial saat ini adalah produk penjualan dan ketersediaan tempat,” tambah Mustaiin.
Meski begitu, pihak lapas menegaskan batik buatan warga binaan selalu dijaga sisi autentiknya. Semua kain diproduksi dengan teknik tulis, bukan cap, demi menjaga ciri khas dan keaslian karya.
Lebih dari sekadar kain, batik “jeruji” adalah catatan tentang harapan. Tentang bagaimana warga binaan berusaha menebus kesalahan dengan karya, sekaligus membuktikan bahwa kreativitas tak pernah bisa dipenjara. (GHAITS)