GWD Fashion Week Usung Busana Ecoprint, Ternyata Beda Dengan Batik

BANYUWANGIHITS.ID – GWD Fashion Week menyita perhatian. Busana yang dikenakan ternyata hasil dari ecoprint.
Ecoprint bukan batik, tapi mirip. Sumber pewarnaan dalam ecoprint seratus persen bergantung dari warna alam yang kebanyakan berasal dari daun.
Batik saat ini banyak yang beralih menggunakan pewarna alam. Perbedaannya, batik yang menggunakan pewarna alam masih menggunakan malam dalam proses pembuatan motifnya. Sedangkan ecoprint dunia malam tidak digunakan sama sekali.
Karena itu, Supiyati Rahayu (54), menolak ecoprint sebagai batik. Supiyati Rahayu merupakan pemilik ecoprint Anugerah Alam asal Perum Griya Giri Mulya (GGM), Kelurahan Klatak, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur.
Wanita ini juga terlibat aktif dalam Poklahsar (Kelompok Pengolahan dan Pemasaran) Anugerah Bahari. Dunia ecoprint mulai didalami oleh Supiyati Rahayu sejak tahun 2018. Itupun diketahui lewat YouTube.
“Tahun itu sudah kenal cuma ide masih buntu karena aktif di PKK Kabupaten Banyuwangi sehingga belum sempat mengembangkan,” kisah Supiyati Rahayu, disela – sela GWD Fashion Week di Pantai Grand Watudodol Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, Sabtu 13 Agustus 2022.
Baru tiga tahun kemudian, tahun 2021 ecoprint benar – benar ditekuni oleh mantan istri PNS di Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP) Banyuwangi.
“Kita produksi sendiri, dari menyiapkan kain, daun untuk pertanyaan dan motif sampai pemasaran,” ungkapnya.
Untuk proses pembuatan ecoprint ada yang lama namun juga ada yang cepat. Tergantung dari motif serta pewarnaannya. Itu yang paling menentukan.
“Kalau motif ecoprint tanpa dicelup cepat, paling lama 3-4 hari. Tapi jika dicelup, seluruh kain diwarnai menggunakan pewarna butuh 7-8 hari,” urai Supiyati Rahayu.
Saat ini, pemasaran karya ecoprint yang dilakukan Supiyati Rahayu masih sebatas offline. Bagi pengunjung yang mendatangi Pantai Grand Watudodol atau GWD bisa menemukan ecoprint karya Supiyati.
“Wisatawan GWD lihat terus beli. Kadang ada yang datang ke rumah di Perum GGM Klatak. Untuk pemasaran online belum,” ungkapnya.
Dengan pemasaran offline saja ecoprint hasil karyanya sudah laris manis. Padahal harga yang dibandrol untuk ukuran kain panjang 2 meter bisa tembus Rp 160 ribu.
“Bikin habis, bikin lagi ada yang pesan. Sempat juga kewalahan,” tuturnya.
Untuk menciptakan karya ecoprint tidak bisa menggunakan sembarang daun. Hanya daun – daun berserat tinggi saja yang bisa digunakan untuk ecoprint termasuk pewarnaan kainnya.
“Daun pandan tak bisa dipakai karena kandungan seratnya rendah tak bisa mengikat warna sehingga motifnya gampang luntur,” kupasnya lagi.
Karena ecoprint tidak menggunakan malam dalam membatasi gerak warna yang dihasilkan dari daun untuk menciptakan motif. Meskipun tanpa malam tapi motif ecoprint pada kain tidak melebar alias luntur. (RED/YAT)