Kasus Obat Sirup Picu Gagal Ginjal Akut Belum Pernah Ada Selama 40 Tahun

BANYUWANGIHITS.ID – Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) menggelar pertemuan bertajuk Kembalinya Obat Sirup yang Hilang, Jangan Ada EG/DEG di antara Kita.
Ketua Umum GPFI Tirto Koesnadi menuturkan, kasus cemaran obat sirup merupakan kejadian yang belum pernah terjadi dalam industri farmasi Indonesia selama lebih dari 40 tahun.
Selama tiga bulan sejak mencuatnya kasus cemaran terhadap obat sirup yang diduga menjadi penyebab acute kidney injury (AKI) atau gagal ginjal akut pada anak (GGAPA) di Indonesia, hingga 13 Desember 2022 tercatat 324 kasus AKI/GGAPA dengan 200 kasus meninggal dunia.
Industri farmasi nasional memproduksi 90 persen dari total volume obat nasional dengan berbagai jenis tablet, sirup, injeksi, kapsul, inhalasi dan berbagai produk obat lainnya. Namun kasus pencemaran ini hanya terjadi pada sirup saja dan tidak terjadi pada semua jenis produk obat dari industri farmasi lainnya.
“Hal ini menunjukkan mayoritas sistem kualitas produksi industri farmasi dan sistem pengawasan dan pembinaan BPOM sudah mayoritas berjalan baik, namun ada penyebab spesifik yang menyebabkan hanya sirup yang bermasalah,” ujar Tirto.
Selama ini pengawasan BPOM sudah termasuk yang sangat ketat diantara negara Asia. Karena BPOM yang merupakan anggota dari Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme (PIC/S) telah menerapkan aturan yang mengacu pada standar internasional yang selama ini telah memastikan kualitas dan keamanan sistem dan proses dan kualitas industri farmasi.
Industri Farmasi nasional juga sudah melakukan proses produksi sesuai dengan standar CPOB yang dibuat dengan merujuk pada standar internasional yang diawasi secara ketat dan konsisten oleh BPOM.
Ditengah pengawasan yang ketat tersebut, terjadinya cemaran EG/DEG disebabkan karena dua hal.
Pertama, adanya pemalsuan bahan pelarut oleh oknum supplier kimia yang mengganti bahan PG menjadi EG/DEG.
Industri farmasi telah memesan dan membayar dengan harga PG yang lebih tinggi, disertai dengan Certificate of Analysis PG dan Drum berlabelkan PG oleh supplier, namun isi nya telah dicampur EG.
Kedua, hasil produksi sirup obat jadi tidak diperiksa untuk kandungan EG/DEG karena selama ini belum ada standar di dunia untuk pemeriksaan EG/DEG pada Produk Jadi Obat.
GPFI menegaskan bahwa problem pencemaran sirup adalah kombinasi dua hal dari isu pemalsuan pelarut dan tidak adanya metode pemeriksaan EG/DEG pada obat jadi sirup, dan bukan isu adanya problem sistemik pada sistem produksi Industri Farmasi atau sistem pengawasan BPOM yang sudah sangat ketat.
Hal ini terbukti dari data yang ada bahwa hanya 5 persen dari ragam obat sirup yang sempat beredar yang tercemar, dan hanya kurang dari 2 persen dari total obat yang beredar yang tercemar.
Sedangkan lebih 94 persen obat sirup lainnya layak dikonsumsi yang membuktikan bahwa kasus cemaran sirup adalah sebuah insiden dan bukan sistemik mayoritas.
Berdasarkan semua fakta tersebut, maka GPFI telah mengambil berbagai upaya strategis dalam mendukung langkah-langkah Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, untuk menghentikan sementara semua penjualan dan penggunaan obat sediaan sirup sebagai bentuk kehati-hatian terkait tingginya kasus AKI/GGAPA di Indonesia pada Oktober lalu.
“GPFI turut menghimbau seluruh industri farmasi, khususnya yang tergabung dalam asosiasi kami, untuk segera melakukan pengujian ulang terhadap item obat sirup dan melaporkan hasilnya kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk diverifikasi, sesuai dengan Surat Edaran BPOM tanggal 18 Oktrober 2022,” ungkap Tirto.
Menurut data per 15 Desember 2022, dari sekitar 2.400 item obat sirup yang diuji, 335 item obat sirup telah dinyatakan oleh BPOM aman dan layak konsumsi. (RED/YAT)