Tutup Iklan X

Demo di Pelabuhan, ASLI dan APTRINDO Desak Pemerintah Tinjau Ulang Larangan Operasi Selama 16 Hari

Susana Demo Penolakan Kebijakan Baru Larangan Angkutan Barang Beroperasi Selama 16 Hari di Pelabuhan Tanjungwangi Banyuwangi / Foto : Banyuwangihits.id

 

BANYUWANGIHITS.ID – Asosiasi Sopir Logistik Indonesia (ASLI) dan Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menggelar aksi protes di depan Pelabuhan Tanjungwangi, Banyuwangi. Mereka menolak kebijakan pemerintah yang melarang angkutan barang beroperasi selama 16 hari dalam masa arus mudik dan balik Lebaran 2025. Para pengusaha dan sopir logistik menilai kebijakan ini terlalu lama dan berdampak negatif terhadap berbagai sektor.

Ketua ASLI sekaligus Ketua DPC Aptrindo Banyuwangi, Slamet Barokah, menyebutkan bahwa kebijakan ini tidak hanya merugikan pemilik kendaraan, tetapi juga memukul seluruh rantai pasok logistik.

“Kebijakan ini menghambat pengiriman bahan baku industri, berdampak pada ekspor-impor, dan bahkan bisa menyebabkan pembatalan kontrak dagang dengan pihak luar negeri. Hal ini akan mengurangi potensi devisa negara,” tegas Slamet, Kamis (20/03).

Selain itu, larangan ini berisiko menyebabkan kepadatan barang di pelabuhan. Kapal-kapal dari luar negeri akan terus berdatangan, sementara barang tidak bisa segera didistribusikan. Akibatnya, terjadi stagnasi logistik yang memperpanjang dwelling time, meningkatkan biaya penumpukan, serta membebani importir dengan denda demurrage container.

Baca juga :  Cium Pantat Truk Pengendara Honda Scopy Dijahit Dahi Matanya

Dampak lain yang dikhawatirkan adalah terganggunya kegiatan ekspor. Para eksportir bisa kesulitan memenuhi perjanjian dagang akibat keterlambatan pengiriman, sementara pengemudi truk kehilangan penghasilan selama masa larangan.

“Banyak sopir yang bergantung pada penghasilan harian. Jika tidak bisa bekerja selama 16 hari, bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan keluarga?” tambah Slamet.

Perwakilan ASLI lainnya, Farid Hidayat, juga mengkritik kebijakan ini yang dinilai terlalu mendadak.

“Peraturan ini diterapkan dengan waktu persiapan yang minim, sehingga banyak pihak yang tidak siap. Akibatnya, terjadi kepanikan, lonjakan biaya produksi, dan bahkan potensi stop produksi serta keterlambatan pengiriman setelah masa larangan berakhir,” ungkap Farid.