Asal-Usul Kota Banyuwangi, Antara Sejarah dan Legenda.
BANYUWANGI, Banyuwangihits-Kabupaten Banyuwangi, merupakan Kabupaten yang terletak di ujung Timur Pulau Jawa. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan hutan disebalah barat, Sebelah timur laut, dan sebelah utara di kelilingi hutan Taman Nasional Baluran dan sebelah Selatan hutan lindung Taman Nasional Alas Purwo.
Banyuwangi dipisahkan oleh Selat Bali, dengan luas wilayah 5.782,4 km2, menjadikan kabupaten ini yang terluas di Pulau Jawa. Menjadi kabupaten terluas, Banyuwangi, menyimpan sejarah dan legenda yang terkenal., Diantaranya sejarah kerjaan Blambangan yang dipimpin Prabu Tawangalun, atau legenda pangeran Sidopokso dan Putri Sritanjung yang menjadi cikal, bakal munculnya kota Banyuwangi pada abat ke 16.
Asal -Usul Kota Banyuwangi Dalam sejarah.
Pemerhati Sejarah Banyuwangi Yeti Chotimah menyebut, Asal kota Banyuwangi, memang tidak bisa dilepaskan dari kerajaan Blambangan, bahkan kata dia, sejarah mencatat nama Banyuwangi ini merupakan nama salah satu daerah pada jaman kerajaan Blambangan yaitu, Tirtoarum atau juga Banyuwangi.
“Pada tanggal 24 Oktober 1773 VOC memutuskan pusat adminsitratif pemerintahan di Wana Tirtaganda atau Tirtoarum atau yang juga disebut Banyuwangi,”ujur Yeti Chotimah
Sementara itu, kata Yeti awal berdirinya kerajaan Blambangan sendiri terjadi pada tahun 1293. Pada saat itu Raden Wijaya (Prabu Kertarejasa Jayawardana) yang saat itu menjadi raja di kerajaan singosari, meminta salah satu abdi dalem kerajaan yaitu Arya Wiraraja untuk membantu menguasai Kerjaan Kediri. Maka diberikanlah separuh wilayah kekuasaan Singosari oleh Raden Wijaya kepada Arya Wiraraja.
“Wilayah kerajaan yang diberikan oleh Raden Wijaya berada di daerah Kedaton Wetan, tepatnya mulai dari Malang sampai dengan Banyuwangi. Pada tahun 1294, disebutlah kedaton wetan dengan nama Kerjaan Blambangan,”tambah Yeti
Pusat Kerajaan Blambangan pertama kali berada di Lumajang, Majapahit dan Blambangan merupakan kerajaan yang saling mengharagi keduanya merupakan sama- sama kerajaan merdeka dan mempunyai ikatan kerjasama. Sebagai ungkapan terimakasih dan pengabdian Arya Wiraraja yang mempunyai seorang putra bernama Aria Nambi, diminta untuk mengabdi kepada Kerjaan Majapahit sampai dengan pada masa prabu Kartarejasa Jayawardani wafat pada tahun 1308.
“Sepeninggal Raden Wijaya, pada saat itu, puncuk pimpinan kerajaan digantikan oleh Raden Kalagemet yang bergelar Prabu Joyonegoro. Tapi pada saat itu, Prabu Joyonegoro memimpin pemerintahanya kurang bijaksana, sehingga banyak sekali terjadi pemberontakan dari beberapa patihnya. Seperti Ronggolawe, Aria Sora, Juru Demung, Gajah Biru, Aria Semi dan Ra Kuti,” kata wanita yang baru saja meluncurukan buka berjudul Sejarah, Seni dan Budaya Banyuwangi ini
Pemberontakan yang terus menerus terjadi, menjadi awal mula runtuhnya kerajaan Majapahit yang pertama. Joyonegoro terpaksa menyingkir di desa Bedander dengan dikawal oleh Pasukan Bhayangkari dipimpin oleh Gajah Mada. Joyonegoro yang berambisi ingin memulihkan kerajaan Majapahit, membuat Aria Nambi tidak betah tinggal di Kerajaan Majapahit.
“Arya Nambi dengan berat hati mengundurkan diri dengan alasan ayahnya yakni Arya Wiraraja sedang sakit. Lalu kepulangan Nambi itu membuat Joyonegoro marah dan menganggap Blambangan ingin mengadakan perlawanan. Dari sinilah awal pertikaian antara kerajaan Majapahit dan Blambangan,”cetus Yeti
Pada tahun 1311 Arya Wiraraja meninggal dunia dan kedudukanya digantikan oleh Aria Nambi. Kedekatan Blambangan dengan kerjaan di Bali semakin erat dan menjalin kerjasama dalam bidang pertahanan.
Pada tahun 1328 Prabu Joyonegoro tewas oleh Ra Tanca yang merupakan tabib Istana di Kerajaan Majapahit. Ra Tanca akhirnya dihukum mati oleh Patih Gajah Mada. Dan kedudukan Majapahit digantikan oleh Ratu Gayatri. Karena usia Ratu Gayatri sudah lanjut, maka diserahkanlah kerajaan Majapahit kepada Dyah Ayu Sri Gitareja yang bergelar Ratu Ayu Tribuana Tunggadewi.
“Ratu Dyah Ayu Sri Gitareja memimpin sejak tahun 1328-1350 dengan patihnya Gajah Mada. Pada waktu itu kedudukan Gajah Mada sebagai menteri pengganti Aria Tadah,”ujur Yekti
Pada saat dilantik menjadi menteri Pertahanan terucaplah sumpah Amukti Palapa yang berbunyi “ Aku tidak akan berpesta pora dan tidak akan makan buah Palapa sebelum Nusantara bersatu dibawah panji-panji Majapahit”
Dan sekitar pada tahun 1332 Prabu Aria Nambi, meninggal dunia, sehingga terjadi kekosongan di puncuk pimpinan Kerajaan Blambangan. Sedangkan di Majapahit sendiri pada sekitar tahun 1350 Sri Ratu Tribuana Tunggadewi meninggal dunia dan digantikan putranya yaitu Hayam Wuruk.
“Sehingga pada waktu Kerajaan Majapahit kembali berjaya dengan patihnya Gajah Mada. Bahkan kala itu Majapahit mengalami masa keemasan ke II,”tambah Yeti
Setelah mengalami kekosongan pimpinan di kerajaan Blambangan atas restu Hayam Wuruk maka diangkatlah Bhree Wirabumi memimpin di kerjaan Blambangan. Bhree Wirabumi menikah dengan Dyah Negarawardani yang merupakan adik dari Wikramawardana.
“Sehingga pusat Kerajaan Blambangan kala itu bergeser ke Banger Probolinggo. Namun berdasarkan pertimbangan ekonomi dan pertahanan, pusat kerajaan Blambangan dipindah lagi ke Ulu Pangpang Muncar. Jadi dalam sejarah tercatat kerajaan Blambangan itu berpindah 8 kali, termasuk di Muncar dua kali,”kata Yeti.
Berdirinya Istana Macan Putih Dan Prabu Tawang Alun
Prabu Tawang Alun memerintah kerajaan Blambangan yang kala itu pusat kerajaan berpindah ke Kedawung-Rogojampi. pada tahun 1685-1686 politik adu domba Belanda mengakibatkan mas Wila, adik dari Prabu Tawang Alun berambisi menduduki tahta kerjaan.
“Untuk menghindari pecah perang saudara, maka pada tahun 1686, Prabu Tawang Alun yang memiliki sifat bijaksana dan berbudi luhur memilih untuk mengalah dan menyingkir ke daerah Rowo Bayu Songgon. Prabu Tawang Alun menyerahkan kekuasaan kepada mas Wila sebagai raja di Istana Kedawung dengan gelar pangeran Prabu Mas Wilabrata,”tegas Yeti
Sementara Itu dibawa kepemimpinan Pangeran Prabu Mas Wilabrata, rakyat Kedawung hidup dalam kecemasan, karena Mas Wila memerintah dengan tidak adil. Banyak pendukung di Kedawung pindah ke Desa Bayu karena dirasa lebih damai dan tentram.
“Terdorong oleh watak keras Mas Wila yang kurang bijaksana, beliau amat murka pada waktu itu mendengar banyak penduduk yang berpindah ke Bayu. Dengan peristiwa itu Mas Wila langsung mengerahkan prajuritnya untuk mengempur Desa Bayu,” tambah Yeti
Perang saudara tidak dapat dihindarkan dan pertempuran terjadi dengan sengit. Pada tahun 1687 Prabu Mas Wila, Mas Ayu Tunjung Sekar, serta Mas Wilataruna gugur dalam pertempuran sengit itu. Tahta Singgasana Kedawung kemudian oleh Prabu Tawang Alun diserahkan kepada Mas Ayu Meloka. Sedangkan Mas Ayu Gringsing Retno dingakat sebagai patih.
“Prabu Tawang Alun merasa menyesal atas terbuhunya mas Wilabrata, Mas Ayu Tunjung Sekar dan Wilateruna. Prabu Tawang Alun melakukan tapabrata di hutan Sudamara dikawasan lereng Gunung Raung. Pada saat bertapa Prabu Tawang Alun dibangunkan oleh suara gaib yang mengisyaratkan beliaunya harus berjalan ke arah utara,”kata Yeti
Macan Putih dan Prabu Tawang Alun berhenti di Banger Laban Asem. Kemudian Prabu Tawang Alun dan pengikutnya mendirikan kembali sebuah istanan kemudian yang dinamakan istana Macan Putih. Kerajaan Blambangan lalu berpusat di Istana Macan Putih yang dibangun dengan batu bata merah.
“Ukuran persatuan panjangnya batu bata merah itu 1 m, lebar 0,5 meter tinggi 20 meter dengan pagar berkeliling lengkap dengan parit sepanjang 4,5 km dan diselesaikan dengan kurun waktu 4 tahun 10 bulan, dengan dibantu penasehatnya yaitu Mas Bagus Wongsokaryo. Pada saat itu masa kepemimpinan Tawang Alun Kerajaan Blambangan memasuki jaman keemasan,” ujur Yekti
Akhirnya pada tahun 1691, Kanjeng sinuwon Prabu Tawang Alun meninggal dunia. Dan kedudukanya digantikan oleh putranya yaitu Sosronegoro sampai dengan tahun 1698.
Sepeninggal Prabu Tawang Alun dan masa kepemimpinan Sosronegoro Kerjaan Blambangan di Istana Macan Putih berkejolak. Dengan memanfaatkan jiwa Sosronegoro yang masih labil, kakaknya yang bernama Mas Macan Apura dengan dibantu penasehatnya yaitu Endog Sawiji pada tahun 1697 meminta Sosronegoro untuk menyerahkan kepemimpinanya. Maka terjadilah perang saudara kembali.
“Akibat perang yang berkecamuk pada waktu itu, istana Macan Putih rusak berat. Namun dalam sumber lain menyebutkan rusaknya istana Macan Putih dikarenakan meletusnya Gunung raung pada tahun 1701. Sehingga pusat kerajaan Blambangan dipindahkan ke daerah Wijenan Kecamatan Singonjuruh,”ujur Yekti
Datangnya Perompak dari Bugis, Cina, VOC dan Perang Puputan Bayu.
Dilain pihak , para perompak dari Bugis yang jumlahnya mencapai 800 orang telah tiba di bumi Blambangan. mereka bersaing dengan Cina dan VOC. Para perompak Bugis telah nmembangun kubu-kubu di Pantai Pakem sedangkan Ingris membangun kantor perdagangan yang digunakan untuk transit didepan Loji yang sekarang dikenal dengan inggrisan.
“Danuningrat merasa kedudukanya terancam pada waktu itu sebagai pengusa kerjaaan Blambangan, sehingga meminta bantuan Wong Agung Wilis untuk membasmi pasukan Bugis. Tapi pada kala itu Wong Agung Wilis tidak bersedia. Namun akhirnya Wong Agung Wilias akhirnya mau membantu menumpas pasukan Bugis. dan penumpasan pasukan Bugis itu dilakukan hanya dalam waktu semalam saja,”tegas Yekti
Berhasil menumpas Bugis lantas tidak serta merta kerajaan Blambangan menjadi aman, VOC mulai membangun kekuatanya melalui perdagangan. Bahkan dengan kebijakan VOC yang sewenang- wenang di wilayah Blambangan pada waktu itu telah meciptakan jurang pemisah antara rakyat dengan pimpinan.
“Kebijakan VOC memanjakan penguasa lokal untuk meluncurkan politik devide et empera. Sehingga menciptakan jurang pemisah antara rakayat dan pemimpinya,”tambah Yekti.
Dengan kesewenang- wenangan VOC akhirnya mendapatkan perlawanan rakyat Balmbangan pada tahun 1771. Bahkan kekhasan perang Puputan Bayu, Belanda mengakui perang paling dahsyat se tanah Jawa. Padahal tidak sebanding dengan hasil yang akan didapatkan di tanah Blambangan.
“Pada Catatan perang oleh Adison 1848 halaman 75-76, Daerah Blambangan adalah daerah di pulau Jawa yang sangat padat penduduknya. Sehingga VOC mengalami kesulitan untuk membinasakan rakyat Blambangan,’kata Yekti
Setalah perang Puputan Bayu selesai pada tahun 1773, untuk meredam kemarahan rakyat Blambangan maka VOC menjemput Mas Alit dan Mas Thalib yang selama ini diasuh oleh panembahan Rasamala Bangkalan Madura. Mas Alit diangkat oleh VOC sebagai Bupati Blambangan.
“Mas Alit dinobatkan sebagai bupati di Istana Blambangan yang berada di Ulu Pangpang Muncar,”ujur Yekti.
Perlawanan rakyat Blambangan meski tersisa 5000 orang di bawah pimpinan Sayu Wiwit masih gencar dilakukan. Bahkan VOC memberi julukan kepada Sayu Wiwit sebagai Prince of Empire dan srikandi Blambangan.
“Akan tetapi Sayu Wiwit akhrinya tertangkap di Kaki Gunung Raung. Tapi dalam babad yang lain disebutkan Sayu Wiwit meninggal dan dimakamkan di kaki Gunung Raung,”ujur Yekti.
Akhirnya pada tanggal 24 Oktober 1773 VOC memutuskan pusat administrasi dipindah di Wana Tirtoganda atau Tirtoaruam atau juga disebut Banyuwangi.
“Karena waktu itu Mas Alit kurang bisa dikendalikan dengan akal licik VOC Mas Alit dibunuh di Gersik dan dimakamkan di Sedayu. dan Akhirnya kekuasaan Blambangan atau Banyuwangi digantikan berturut-turut kedudukanya oleg generasi Tawang Alun,” Pungkas Yekti Chotimah.
Sementara itu,Kepala Depertemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sri Margana, dalam bukunya yang berjudul Perebutan Hegomoni Blambangan pada Bab VI, berdirinya Banyuwangi dan Perubahan Administrasi dan Masalah Populasi Penduduk, disebutkan pada tiga tahun pertama pendudukanya, VOC telah mengkat tidak kurang dari enam Bupati Blambangan, lima diantaranya terlibat dalam pemberontakan.
Hanya satu bupati yang tetap loyal kepada VOC yaitu Kertanegara, namun ternyata itu juga tidak memberikan nasib yang bagus karena dia juga dipecat setelah hanya beberapa bulan memegang kekuasaan. Setelah penghianatan Sutanegara tahun 1770 VOC yang kecewa kehilangan kepercayaan baik pada kemampuan dan loyalitas para pemimpin lokal untuk bertangung jawab memegang pemerintahan di Blambangan.
Pada akhirnya tahun 1773 Mas Alit dinominasikan sebagai calon Bupati Blambangan oleh Residen Schophoff. Sang residen berdalih bahwa Mas Alit merupakan kandidat paling tepat untuk menjadi Bupati baru karena putra Asli Blambangan. Dia keturunan dari sebuah keluarga yang terhormat yang dinilain oleh VOC tidak pernah beraliansi dengan Bali. (Hermawan)